Tetiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan telah mendeteksi keberadaan Harun Masiku. Kata KPK, Harun kini berada di luar negeri.
Tak hanya itu, KPK pun mengaku telah memiliki strategi untuk menangkap buronan dalam kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI itu.
“Pasti strategi yang kami miliki ada bagaimana caranya mengejar para DPO KPK yang jumlahnya lima,” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jakarta, pada 13 Januari 2023 seperti yang dikutip Detik.com.
Sebenarnya tidak ada yang aneh pada klaim KPK. Sebab, “hilangnya’ Harun Masiku diwarnai sejumlah kejanggalan.
Tak sedikit yang menduga bila Harun Masiku sengaja dihilangkan untuk kemudian digunakan sebagai alat tawar politik.
Karenanya, sebenarnya tak ada yang aneh pada pengumuman KPK soal Harun Masiku tepat jelang Pemilu 2024.
Kalau cuma Kasus Suap Sengketa Pemilu, Kenapa Harun Masiku sampai “Menghilang”
Kasus korupsi yang menjerat Harun ini sebenarnya tidak terkait kecurangan Pemilu 2019, apalagi Pilpres 2019 seperti yang dinarasikan.
Kasus ini berawal dari PDIP yang ngotot menggolkan Harun Masiku sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia pada 26 Maret 2019.
Meski namanya telah dicoret dari DPT pada 15 April 2019, adik kandung Taufiq Kiemas ini menyabet 34.276 suara di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I. Bahkan ia menjuarai dapilnya.
Kursi dan raihan suara yang “diwariskan” oleh mendiang Nazaruddin inilah yang menjadi pangkal masalah.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan Riezky Aprilia yang menempati posisi runner up menjadi pengganti Nazaruddin. Di sisi lain, dengan berbekal Keputusan Mahkamah Agung (MA), PDIP ngotot mendudukkan Harun Masiku sebagai pengganti Nazaruddin.
Jelas, kasus Harun Masiku tidak ada kaitannya dengan kecurangan Pemilu 2019, baik Pileg 2019 maupun Pilpres 2019.
Sebenarnya, kasus suap yang menyeret Harun Masiku dan PDIP ini terbilang kecil. Dan, kasus suap terkait sengketa pemilu sudah berulang kali terjadi. Karenanya, semestinya Harun tidak perlu “menghilangkan dirinya” dan PDIP tidak perlu terlalu dalam mencampurinya.
Justru dengan “menghilangnya” Harun Masiku dan upaya PDIP dalam menutup-nutupinya, sejumlah pertanyaan bermunculan.
Apakah ada kasus lainnya yang mungkin lebih besar dari sekadar suap sengketa pemilu?
Kebohongan Pemerintah Demi Tutupi Keberadaan Harun Masiku
Pada 8 Januari 2020 media ramai memberitakan penangkapan Wahyu Setiawan oleh KPK. Namun, Harun Masiku yang juga diincar berhasil lolos.
Pasca penangkapan Wahyu, media menginformasikan bahwa Harun masih berada di Singapura sejak kepergiannya pada 6 Januari 2020 atau dua hari sebelum Wahyu di-OTT.
Harun Masiku pergi ke Singapura hanya dua hari jelang OTT terhadap Wahyu Setiawan. Kebetulan?
Harun Masiku pun dinyatakan telah menghilang.
Seminggu setelahnya terjadi kegemparan. Ketika itu, pada 16 Januari 2020, Koran Tempo memberitakan bahwa Harun sebenarnya sudah kembali ke tanah air pada 7 Januari 2020 atau H-1 jelang penangkapan Wahyu.
Berita Koran Tempo itu pun dibantah Menkumham Yasonna Yaoli. Kader PDIP ini keukeuh menegaskan bila Harun masih berada di luar negeri.
“Pokoknya belum di Indonesia,” tegas Yasonna saat ditemui jurnalis di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA, Jakarta Timur pada 16 Januari 2020.
Bantahan Yasonna ini terkesan asal bunyi. Sebab, Dalam laporannya Koran Tempo juga melampirkan foto tangkapan CCTV Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta yang merekam kedatangan Harun Masiku pada 7 Januari 2020.
Kemenkumham baru mengakui kebenaran laporan Koran Tempo enam hari kemudian
Pada 22 Januari 2020, Kepala Seksi Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika Sofyan Kurniawan mengaku bahwa data kedatangan Harun sebenarnya tercatat di dalam komputer di Terminal 2F Bandara Soetta. Namun, katanya, data itu tidak ditransfer ke server lokal bandara maupun ke server di Pusat Data Keimigrasian.
Problem ini, masih menurut pengakuan Sofyan, sebetulnya telah terjadi sejak 23 Desember 2019. Selain Harun, data 120.661 penumpang di terminal 2F lainnya juga tidak terkirim ke server pusat. Kata Sofyan, masalah ini terjadi karena vendor lupa menghubungkan data perlintasan pada PC konter Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta dengan server lokal Bandara dan Pusat Data Imigrasi di Ditjen Imigrasi.
Perbaikan, masih menurut Sofyan, baru dilakukan pada 10 Januari 2020. Karenanya, data kedatangan Harun baru terkirim ke server pusat pada 19 Januari 2020.
Harun Masiku keluar-masuk pada saat sistem sedang error! Dan perbaikan baru dilakukan setelah Harun Masiku dinyatakan telah “menghilang”. Kebetulankah?
Dari sinilah timbul dugaan bila pemerintah berupaya menutup-nutupi keberadaan Harun Masiku.
Tutupi Jejak Harun Masiku, KPK Lakukan Kebohongan Publik
Sebenarnya KPK sudah mengetahui bila Harun berada di Jakarta pada 8 Januari 2020 atau pada hari yang sama saat KPK meng-OTT Wahyu Setiawan.
Seperti yang disampaikan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, OTT terhadap Wahyu setiawan bermula dari adanya informasi terkait dugaan permintaan uang dari Wahyu kepada Agustiani Tio Feidelina. Atas informasi itu, KPK menggelar operasi OTT di Jakarta, Depok, dan Banyumas pada dua hari berturut-turut: 8-9 Januari 2020.
Tidak diketahui kapan KPK mendapatkan informasi tersebut.
Namun, lantaran membutuhkan sekurangnya dua alat bukti yang sah, pastinya KPK membutuhkan waktu yang cukup agar tidak gegabah dalam melancarkan operasi OTT-nya.
Selain itu, KPK pun tidak mungkin menggelar operasi OTT terhadap 8 orang di 3 kota berbeda bila tanpa persiapan matang.
Dapat disimpulkan bila KPK sudah memantau para pelaku beberapa hari sebelum OTT-nya, termasuk terhadap Harun Masiku,
Dalam kasus suap kuota impor daging sapi yang melibatkan petinggi PKS, misalnya, sebelum meng-OTT Ahmad Fathonah dan Luthfi Hasan Ishaaq pada 29 Januari 2013, KPK sudah membuntuti pergerakan para pelaku setidaknya tiga minggu sebelumnya. Hal ini diungkap oleh penyelidik KPK Amier Arif dalam persidangan yang digelar pada 17 Mei 2013
KPK, menurut Amier, sudah menguntit sejumlah elit PKS dan petinggi PT Indoguna yang bertemu di Hotel Arya Duta, Medan sejak dari Bandara Soetta pada 11 Januari 2013.
Begitu juga seharusnya pada kasus suap yang melibatkan Harun Masiku. Jika Wahyu Setiawan di OTT pada 8 Januari 2020, sangat tidak masuk akal bila KPK tidak mengetahui pergerakan Harun Masiku pada 6 dan 7 Januari 2020. Terlebih, seperti halnya Wahyu, Harun pun merupakan aktor utama dalam kasus suap ini.
Seperti yang akhirnya diakui oleh Jubir KPK Ali Fikri pada 30 Januari 2020, KPK memang telah menguntit Harun Masiku.
“Malam itu (Harun Masiku) diduga berada di Kebayoran Baru di sekitar PTIK, sehingga tim lidik bergerak ke arah posisi tersebut,” kata jubir Ali Fikri pada 30 Januari 2020 seperti yang dikutip Kompas.com.
Mengetahui keberadaan Harun Masiku, KPK segera mengirim tim untuk melakukan penangkapan.
Menariknya, seperti yang diceritakan Ali Fikri, tim KPK sempat mampir ke masjid yang berada di komplek PTIK untuk sekadar melaksanakan sholat.
Saat berada di masjid inilah terjadi cekcok antara tim KPK dengan provost pengamanan PTIK yang tengah melakukan sterilisasi tempat.
“Hanya kesalahpahaman saja. Jadi memang saat itu petugas kami ada di sana untuk melaksanakan salat di masjid. Kemudian di sana ada pengamanan sterilisasi tempat,” kata Ali Fikri di Gedung KPK, Jakarta, pada 9 Januari 2020 malam.
Muncul pertanyaan, berapa jumlah anggota tim yang dikirim KPK untuk menangkap Harun Masiku? Jika lebih dari satu, apakah seluruh anggota tim melakukan sholat secara berjamaah yang berakibat pada lepasnya Harun Masiku?
Malah, menurut sejumlah media, tim KPK tersebut sempat diinterogasi dan tes urine saat berada di PTIK. Hingga tim KPK tersebut dijemput oleh Deputi Penindakan KPK yang telah berkoordinasi dengan Polri.
Setelah itu, keberadaan Harun Masiku “menghilang”
Namun, cerita Ali ini dibantah oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Kata Nurul, pada hari itu Harun Masiku masih berada di luar negeri dan KPK masih melakukan koordinasi dengan Menkumham.
“Info yang kami terima malah memang sejak sebelum ada tangkap tangan yang bersangkutan memang sedang di luar negeri. Siang ini kami koordinasi (dengan) Menkumham untuk itu,” kata Ghufron kepada media pada 13 Januari 2020.
Jelas Komisioner KPK telah melakukan kebohongan publik. Karena faktanya Harun sudah kembali ke tanah air pada 7 Januari 2020 dan berada di Jakarta pada hari yang sama saat Wahyu di-OTT
Dari sinilah bisa disimpulkan bila KPK dan pemerintah diduga kuat terlibat dalam persekongkolan menutupi keberadaan Harun Masiku.
Benarkah KPK Kehilangan Jejak Harun Masiku?
Sejak “menghilang” pada 8 Januari 2020, keberadaan Harun Masiku memunculkan sejumlah spekulasi.
Ada yang menduga bila politisi PDIP ini sudah meninggal dunia. Kemungkinan ini disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi, Boyamin Saiman, dalam acara Aiman yang ditayangkan Kompas TV pada 11 Mei 2020.
Bahkan, politisi Partai Demokrat, Benny K Harman, menduga Harun Masiku sudah ditembak mati.
“Akibat situasi ini ada tiga spekulasi di tengah publik. Pak HM ini sudah ditembak mati, sangat mungkin,” duga Benny di Komplek Parlemen Senayan seperti yang dilansir CNNIndonesia.com pada 24 Februari 2020.
Benarkah Harun Masiku sudah mati?
Konon, KPK memiliki perlengkapan yang lebih canggih dari yang dimiliki Densus 88. Kehilangan jejak dari target OTT seharusnya merupakan tamparan untuk KPK. Apalagi sebelum “menghilang” Harun Masiku sudah ada di depan mata KPK.
Karenanya sangat janggal bila KPK sampai kehilangan Harun Masiku hanya karena tim yang bertugas mampir ke masjid untuk melaksanakan sholat.
Naif bukan?
Atau Ali Fikri memang sengaja mengarang ceritanya senaif itu agar publik tidak mempercayainya.
Cerita Harun Masiku yang sembunyi di luar negeri sampai lebih dari tiga tahun pun sulit untuk dipercaya.
Apalagi setelah mencuat fakta baru tentang tidak adanya nama Harun Masiku dalam situs interpol.
Padahal pada 30 Juli 2021, KPK mengaku sudah meminta bantuan Sekretariat National Central Bureau (NCB)-Interpol Indonesia untuk menerbitkan red notice atas nama Harun Masiku.
Tidak tercantumnya red notice atas nama Harun Masiku inilah yang menimbulkan kecurigaan bila Harun Masiku sebenarnya tidak berada di luar negeri seperti yang dikatakan KPK pada 13 Januari 2023 lalu.
Patut diduga Harun Masiku berada di tanah air.
Dan, jika melihat kenaifan cerita Ali Fikri tentang proses “menghilangnya” Harun Masiku, bisa disimpulkan bila KPK sebenarnya tidak melepaskan matanya dari Harun.
Karena sudah ada di depan matanya, KPK bisa menangkap Harun Masiku kapan pun saat membutuhkannya.
Namun, dengan mencermati sederet upaya untuk menutup-nutupi keberadaan Harun Masiku, kader PDIP itu diskenariokan ditangkap KPK di luar negeri.