Coattail Effect Anies Baswedan Ancaman untuk Gerindra

Apa yang sejatinya mendorong Partai Nasdem mencapreskan Anies Baswedan? Jawaban singkatnya, misterius.

Apa yang sejatinya mendorong Partai Nasdem mencapreskan Anies Baswedan?

Jawaban singkatnya, misterius.

Dibilang misterius sebab mungkin hanya Surya Paloh dan beberapa orang terdekatnya saja yang tahu. Sedang, orang-orang di luar mereka hanya bisa menebak-nebaknya saja.

Capreskan Anies Baswedan, Nasdem Ditabok Kiri-Kanan

Pencapresan Anies oleh Nasdem ini menarik untuk dicermati dan diikuti.

Awalnya, nama Anies Baswedan keluar sebagai bakal capres saat Nasdem melangsungkan Rapat Kerja Nasional Partai Nasdem yang digelar pada 15-17 Juli 2022.

Bersama Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa, Anies dijagokan oleh parpol yang baru mengikuti dua kali pemilu itu. Menariknya, saat itu ketiganya masih terikat pada jabatannya masing-masing

Anies masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ganjar masih menduduki kursi gubernur Jawa Tengah. Sementara Andika masih memegang tongkat komando panglima TNI.

Ketika nama Anies disebut, mungkin, banyak yang mengira cuma kelakaran atau gombalan Nasdem dan Surya. 

Nyatanya, pada 3 Oktober 2022 Nasdem benar-benar mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres yang akan diusungnya pada Pilpres 2024.

Gegara itu, tak sedikit kader Nasdem memilih hengkang.

Di Semarang, sejumlah pengurus Nasdem menyatakan keluar sebagai ungkapan ketidaksetujuannya.

“Minggu ini saya akan kirim surat pengunduran diri secara resmi ke partai,” jelas Sekretaris Garda Pemuda Nasdem Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Kota Semarang, Hanandityo Narendro, saat dikonfirmasi Kompas.com pada 5 Oktober 2022.

Setelah itu menyusul, Wakil Sekretaris DPD Partai Nasdem Kota Semarang, Shafigh Pahlevi Lontoh. Shafigh mengaku mengundurkan diri karena pemikiran dan hati nuraninya sudah tidak sejalan dengan kebijakan partai.

Ada juga Andreas Acui Simanjaya dari Kalimantan Barat dan Niluh Djelantik. Dan, pasti masih banyak lagi kader-kader Nasdem yang lainnya.

Tak ada yang salah pada pengunduran diri kader-kader Nasdem. Sebab bagaimanapun juga Anies Baswedan diposisikan berseberangan, bahkan head to head, dengan pemerintah Jokowi. Sementara Nasdem berada di dalam koalisi Jokowi dan tiga kadernya menjadi menteri dalam kabinet Jokowi.

Terlebih, dalam spektrum politik tanah air sekarang ini, Anies diposisikan berada di kanan, sebaliknya Nasdem berada di tengah. Dan, dalam tujuh tahun terakhir, kedua spektrum ini terpolarisasi bagai air dan minyak, bahan seperti Batman dan Joker yang saling bermusuhan.

Tabokan yang diterima Nasdem tak hanya itu, Hanya berselang satu bulan kemudian, Nasdem dibombardir oleh narasi-narasi pemberitaan terkait survei yang mengerdilkannya.

Pada 11 November 2022, CNNIndonesia.com, misalnya, mempublikasikan analisis yang diberi judul “Pamor Anies dan Jalan Redup Elektabilitas NasDem”.

“Satu bulan lebih kehadiran Anies Baswedan di Partai Nasional Demokrat (NasDem) dinilai belum mampu mendongkrak elektabilitas partai besutan Surya Paloh tersebut. Sejumlah lembaga survei memprediksi tingkat keterpilihan NasDem di Pemilu 2024 mendatang malah turun,” tulis CNNIndonesia.com pada paragraf pertamanya.

Dalam analisisnya, CNNIndonesia.com mengambil sejumlah hasil survei. Survei Litbang Kompas yang dilaksanakan pada 24 September-7 Oktober 2022. Survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang mengambil waktu 3-9 Oktober 2022. Tak ketinggalan survei LSI Denny JA yang dilakukan pada 11-20 September 2022.

Seperti efek domino, Setelah pencapresan Anies, hubungan Nasdem-Jokowi yang sebelumnya harmonis jadi merenggang. 

Jokowi absen pada hari ulang tahun ke 11 Nasdem yang jatuh pada 11 November 2022. Lalu, Surya Paloh membalasnya dengan tidak menghadiri resepsi pernikahan putra Jokowi, Kaesang Pangarep, satu bulan kemudian.

Hubungan Nasdem-PDIP pun terkena imbasnya. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mendesak Presiden Jokowi agar mereshuffle dua menteri dari Nasdem, yaitu Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Tak hanya itu, Djarot juga meminta tiga menteri asal Nasdem untuk mengundurkan diri.

“Kalau memang gentle betul sudah seperti itu, akan lebih baik untuk menteri-menterinya mengundurkan diri,” kata Djarot pada 3 Januari 2023.

Tak heran bila gegara mencapreskan Anies Baswedan, Nasdem mengalami guncangan hebat.

Tapi, benarkah Nasdem melakukan blunder fatal?

Coattail Effect Anies Baswedan: Deja Vu Prabowo

Meski ditabok kiri-akan, Nasdem tetap bergeming. Partai yang bercikal dari organisasi masyarakat Nasional Demokrat ini seolah sudah memiliki kalkulasi yang benar-benar matang. Nasdem tak mundur atau menarik pencapresan Anies Baswedan.

Nasdem memang tak salah. Sebab pencapresan Anies tidak melanggar apapun, termasuk kesepakatan koalisi.

“Sampai batas akhir masa bakti Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin kita nggak pernah terlanggarkan kan? Apa ada kesepakatan di koalisi kita harus mencalonkan si A kalau si B itu melanggar ? kalau emang ada AD/ART-nya seperti itu, itu lain cerita, kalau nggak ada, secara etik, etik yang mana? Etik itu adalah ketika ada hal yang bertentangan dengan garis kebijakan presiden,” kata Surya Paloh kepada wartawan di NasDem Tower, Menteng, Jakarta Pusat.

Malah, justru dengan mencapreskan Anies Baswedan, Nasdem seolah kejatuhan durian runtuh.

Setelah mencapreskan Anies Baswedan, Nasdem kini diserbu oleh mantan caleg-caleg gagal pada Pileg 2019. Para caleg gagal yang umumnya berasal dari Partai Gerindra, PPP, PAN, dan PKB itu akan maju sebagai calon anggota legislatif untuk DPRD I, DPRD II, dan DPR RI pada Pemilu Legislatif 2024.

Mereka, para caleg gagal itu, memilih Nasdem karena mengharapkan kecipratan coattail effect Anies Baswedan.

Fenomena masuknya, atau bergabungnya caleg-caleg gagal ini sebenarnya pernah terjadi pada 2013. Ketika itu banyak caleg yang gagal pada Pileg 2009 berbondong-bondong masuk ke Partai Gerindra.

Kala itu, pada 2013, Prabowo Subianto dipastikan menang dalam Pilpres 2014 karena ketika itu Prabowo masih belum memiliki pesaing. Ketika itu juga tingkat elektabilitas Prabowo masih nangkring jauh di atas figur-figur lainnya, seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, dan yang lainnya.

Dengan tingkat elektabilitas dan peluang yang dimilikinya, Prabowo memiliki coattail effect yang diharapkan dapat membawa caleg-caleg Gerindra masuk ke parlemen.

Benar saja, pada Pileg 2014, Gerindra berhasil meraih  14 juta  atau 11,81% untuk DPR RI. Raihan suara ini melonjak tajam jika dibandingkan dengan suara yang didapat Gerindra pada Pileg 2009 yang hanya 4,64 juta 4,46%.

Seiring dengan lonjakan suara yang diraih, kursi yang diduduki kader Gerindra pun meningkat dari 26 menjadi 73 kursi.

Hal yang mirip-mirip pun terjadi pada Nasdem saat ini. Seperti yang diberitakan Detik.com pada 16 Februari 2023, pengurus dan kader sejumlah partai di Riau berlabuh ke Partai Nasdem.

“Kemarin baru gabung pengurus dan tujuh pengurus PAC PPP Pekanbaru mau daftar caleg. Ya, Anies Baswedan effect,” terang Ketua Bappilu DPW NasDem Provinsi Riau, Dedi Hariyanto Lubis pada 16 Februari 2023.

Selain kader PPP, ada juga pengurus partai lain ikut bergabung, seperti kader Gerindra dan Golkar.

Eksodusnya sejumlah kader dan pengurus partai-partai lain ke Nasdem pastinya juga membawa serta tim sukses dan pemilih pada pemilu sebelumnya. Maka, sedikit banyaknya suara pun akan berpindah dari partai-partai lain ke Nasdem.

Dengan demikian, Nasdem yang pada Pileg 2019 meraih 12,66 juta suara sah nasional atau  9,05% suara, pada Pileg 2024 nanti Nasdem berpeluang besar mendongkrak raihan suaranya sedikitnya 10%.

Karenanya, analisis yang mengatakan elektabilitas Nasdem anjlok pasca pencapresan Anies perlu dipertanyakan. Terlebih tidak sedikit pengamat politik, akademisi, dan politisi yang salah membaca hasil survei.

Survei yang dijadikan bahan baku analisis CNNIndonesia, misalnya, dilaksanakan sebelum atau hanya beberapa hari setelah Nasdem mencapreskan Anies pada 3 Oktober 2022. 

Survei Litbang Kompas, misalnya. Survei ini digelar pada pada 24 September-7 Oktober 2022, maka tak mungkin berhasil memotret respon responden terhadap pencapresan Anies. Begitu juga dengan survei SMRC yang digelar pada 3-9 Oktober 2022.

Apalagi survei LSI Denny JA yang dilakukan pada 11-20 September 2022 atau sebelum Nasdem mencapreskan Anies.

Padahal hasil-hasil survei yang dilaksanakan jauh hari setelah 3 Oktober 2022 pun belum mampu memotret keterkaitan elektabilitas Nasdem dengan pencapresan Anies Baswedan.

Pasalnya, pada umumnya masyarakat baru melihat figur Anies sebagai capres dan belum mengaitkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu dengan Nasdem sebagai calon partai pengusungnya. Selain itu, informasi seputar pencapresan Anies oleh Nasdem masih terbatas pada kelompok responden yang mengikuti berita-berita politik.

Karenanya, untuk Pileg 2024, Nasdem masih memiliki pekerjaan rumah yang tak ringan, yaitu mengidentikkan dirinya dengan Anies Baswedan, Jika gagal, maka coattail effect pencapresan Anies akan dinikmati oleh parpol pengusung Anies lainnya. 

Capreskan Anies Baswedan, Nasdem Pegang Kendali

Dengan dicapreskannya Anies Baswedan oleh Nasdem sebenarnya merupakan pukulan telak bagi Gerindra dan Prabowo Subianto.

Sejak Prabowo bergabung dengan koalisi Jokowi pada 2019, pemilih Gerindra dan Prabowo telah meluapkan kekecewaannya. Mereka secara terang-terangan mengatakan akan meninggalkan Prabowo dan Gerindra karena sudah tidak mempercayai keduanya.

Koalisi Anies Baswedan
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh serta mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman saat menghadiri pernikahan anak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Putri Duyung Resort, Candi Bentar, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/7/2022). (Dokumentasi DPP Demokrat )

Kepercayaan pemilih Gerindra dan Prabowo semakin rontok pasca Sandiaga Uno menyusul Prabowo masuk ke dalam kabinet pada akhir 2020.

Pemilih Gerindra pada Pileg 2019 dan juga pendukung Prabowo dalam Pilpres 2019 ini merupakan pendukung Anies Baswedan. Bahkan, tak sedikit dari pendukung Anies yang telah menunjukkan gejala fanatismenya. 

Dari sini bisa diperkirakan, pemilih Gerindra dan Prabowo akan mengalihkan suaranyanya bukan hanya ke Anies Baswedan, melainkan juga ke Nasdem.

Karenanya, 10% suara yang diraih Nasdem pada 2024 hanyalah skenario terburuk. Sebab, Nasdem bisa mendapatkan suara lebih besar lagi. Sebaliknya, raihan suara Gerindra akan anjlok.

Di sisi lain, bisa dikatakan, Nasdem kini memegang saham mayoritas atas figur Anies Baswedan. Dengan “saham” yang dikantonginya itu, Nasdem dapat mempengaruhi Anies dalam pemilihan tokoh yang akan disandingkan sebagai calon wakil presiden.

Nasdem tahu bila PKS dan Demokrat mau tidak mau harus mendukung Anies. Sebab jika tidak, partai-partai itu akan kehilangan banyak calon pemilih. Secara tidak langsung, dengan mencapreskan Anies dan mengajak PKS dan Demokrat bergabung, Nasdem telah menyandera dua partai tersebut.

Faktor itulah juga yang membuat nilai tawar Nasdem lebih tinggi dari PKS dan Demokrat. Begitu juga terhadap partai-partai lain yang akan menyusul kemudian.

Dengan nilai tawarnya itu, meski melalui Anies, Nasdem dapat menentukan calon wakil presiden yang akan mendampingi Anies.

Dari analisis di atas, bisa disimpulkan bila pencapresan Anies Baswedan bukanlah blunder Nasdem, melainkan telah melalui kalkulasi politik yang matang dalam menyongsong Pilpres 2024.