Belum juga lepas dari periode kedua masa jabatannya sebagai Walikota Cirebon, Nasrudin Azis sudah berancang-ancang membidik kursi parlemen DPR RI. Ratusan baliho bergambar foto dirinya sudah dipajang di sejumlah ruas jalan.
Sebagai Walikota Cirebon, tingkat popularitasnya tak perlu ditanyakan lagi. Begitu juga dengan tingkat elektabilitasnya. Gedung Kura-kura Senayan sudah tinggal beberapa langkah lagi di depannya. Namun, langkah politisi yang kini bergabung dengan PDIP itu bisa saja ambyar berkeping-keping. Penyebabnya: putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sistem Pemilu Proporsional yang Tengah Digugat
Sejak Pemilu Legislatif 2004 sampai Pemilu Legislatif 2019, Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka. Sistem ini dipilih sebagai koreksi atas sistem proporsional tertutup yang digunakan dalam pemilu-pemilu sebelumnya.
Menurut definisinya, baik itu sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup merupakan sistem di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa wakilnya. Karenanya, sistem proporsional juga disebut sistem perwakilan berimbang atau multi member constituency.
Kedua sistem ini memiliki sejumlah perbedaan. Singkatnya, pada sistem proporsional terbuka, pemilih bisa memilih calon wakilnya atau bisa juga partai politik pilihannya. Sebaliknya, pada sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politik.
Tentu saja, karena pemilih bisa secara langsung memilih calon wakilnya, maka dalam sistem proporsional terbuka, masing-masing calon memiliki tingkat kesetaraan yang sama.
Dalam sistem ini juga, setiap calon bersaing dengan calon-calon dari partai lain dan juga calon-calon rekan separtainya. Di sinilah para calon mengandalkan kepopulerannya dan keterpilihannya untuk meraih suara pemilih.
Di samping itu, keberhasilan calon dalam sistem ini pun tidak tergantung pada nomor urutnya. Seorang calon dengan nomor urut buncit bisa lolos ke parlemen. Sebaliknya, sekalipun menempati nomor urut puncak atau nomor jadi, seorang calon bisa tidak lolos.
Akan tetapi, akibat dari tingkat kesetaraannya, sistem proporsional terbuka sangat rawan akan praktek-praktek politik uang. Proses penghitungan suara pada sistem ini pun terbilang lebih rumit.
Sebaliknya, dalam sistem proporsional tertutup, nomor urut calon sangat menentukan keberhasilannya. Seorang calon dengan nomor urut atas lebih berpeluang lolos ketimbang calon yang berada di urutan bawahnya.