Post ini merupakan kumpulan artikel bertemakan “Jokowi 3 Perode” yang sebelumnya ditayangkan di Angkring.com
Ada informasi A1, kata Ujang Komarudin kepada jurnalis FNN Hersubeno Arief. Katanya, informasi yang diklaim berlevel valid itu menyebut Jokowi akan kembali nyapres pada Pilpres 2024. Untuk periode ketiganya itu, masih menurut info yang disampaikan Dosen Tetap dan Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) ini, Jokowi diskenariokan akan menggandeng Puan Maharani sebagai cawapresnya.
Ujang pun menambahkan bahwa kembali majunya Jokowi pada Pilpres 2024 adalah untuk mengamankan Proyek Ibu Kota Negara.
Jika informasi A1 yang disampaikan Ujang ini benar, maka Jokowi benar-benar akan maju lagi sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024 yang akan digelar pada 14 Februari 2024.
Kebenaran akan informasi tersebut memang sulit memastikannya. Akan tetapi, setidaknya, informasi tersebut bisa dengan mudah dianalisis.
Ada dua opsi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi. Pertama, melalui amandemen Pasal 7 UUD 1945. Dan, yang kedua adalah dengan cara menunda pelaksanaan Pemilu Presiden 2024.
Dari keduanya, amandemen Pasal 7 UUD 1945 dan penundaan Pilpres 2024, mana yang paling mungkin dipilih oleh Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya.
“Jokowi 3 Periode” sah menurut Konstitusi
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan,” bunyi konstitusi menurut Pasal 7 (1) UUD 1945.
Namun, sesuai konstitusi pula, masa jabatan presiden diamandemen atau diubah.
Agar Jokowi dapat memperpanjang masa jabatannya dari dua menjadi tiga periode, aturan main “hanya untuk satu kali masa jabatan” dalam Pasal 7 (1) UUD 1945 harus terlebih dulu diubah dari “satu kali” menjadi “dua kali” atau dihapus sama sekali alias dihilangkan.
Sesuai konstitusi, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Menurut Pasal 37 (1) UUD 1945, perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD dapat dilakukan jika diajukan oleh sekurang-kurangnya ⅓ dari jumlah anggota MPR.
Kemudian, dalam Pasal 37 (3) untuk mengubah pasal-pasal UUD, MPR harus bersidang yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ⅔ dari jumlah anggotanya.
Dan, sebagai finishing-nya menurut Pasal 37 (4), keputusan untuk mengubah pasal-pasal UUD harus mendapat persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
Jadi, dari kacamata konstitusi, sebenarnya tidak ada yang salah jika Jokowi menghendaki perpanjangan masa jabatannya. Asalkan keinginan Jokowi tersebut harus terlebih dahulu mengamandemen atau mengubah Pasal 7 (1) UUD 1945 sesuai keinginannya atau kepentingannya.
Maka, tidak ada yang salah dengan pernyataan Jokowi seperti yang disampaikan melalui video ini
“Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” tegas Jokowi.
Dari pernyataan tersebut, Jokowi jelas tidak menentang wacana atau usulan perpanjangan masa jabatan presiden, asal sesuai konstitusi.
“Jokowi 3 Periode” Sulit DiGolkan
Keanggotaan MPR terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Pada periode 2019-2024 ini, lebih dari 400 orang atau lebih dari 50 persen di antaranya berasal dari koalisi pendukung Jokowi.
Jika hanya mengacu pada jumlah kursi yang dimiliki parpol pendukung Jokowi, maka sangat mudah bagi Jokowi jika ingin mengubah Pasal 7 (1) UUD 1945.
Tetapi, ada tiga parpol yang sampai saat ini sepertinya masih menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden. Ketiganya adalah PDIP, Gerindra, dan Nasdem.
Di sisi lain, saat ini ada tiga partai yang secara terang-terangan mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden. Ketiganya adalah Golkar, PAN, dan PKB. Ketiga partai tersebut memiliki 187 anggota di MPR.
Jumlah anggota MPR yang dimiliki ketiga parpol tersebut sudah memenuhi jumlah minimal anggota MPR yang dapat mengajukan usulan amandemen Pasal 37 (1) UUD 1945.
Untuk mengajukan usulan amandemen Pasal 7 (1) UUD 1945 yang mensyaratkan ketentuan minimal ⅓ anggota MPR, jumlah kursi yang dimiliki Golkar, PAN, dan PKB saja sudah memenuhi.
Sementara, meskipun belum menyatakan dukungannya pada usulan perpanjangan masa jabatan presiden, PPP sudah tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Golkar dan PAN. Dengan tambahan PPP, jumlah anggota MPR pendukung pendukung amandemen UUD 1945 berpotensi bertambah menjadi 206 kursi.
Jumlah 206 tersebut di jauh bawah persyaratan kehadiran anggota MPR yang disyaratkan, yaitu sekurang-kurangnya kehadiran ⅔ anggota MPR dan juga persyaratan pengambilan keputusan, yaitu 50 persen plus satu anggota MPR.
Amandemen Pasal 7 (1) yang berpatokan pada jumlah anggota MPR ini pun masih berhadap-hadapan dengan pendirian masing-masing anggota MPR, khususnya anggota MPR asal parpol. Apakah anggota MPR asal parpol tegak lurus pada keputusan partainya atau tidak.
Selain pendirian masing-masing anggota MPR, masalah lain yang dihadapi adalah waktu pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden yang ditetapkan pada pada 19 Oktober 2023-25 November 2023. Dengan demikian, pengambilan keputusan amandemen Pasal 7 (1) sebisa mungkin dilakukan sebelum 25 November 2023. Jika melewatinya, mau tidak mau KPU harus mengubah deadline pendaftaran pasangan capres-cawapres.
Karenanya, banyaknya variabel yang harus dikalkulasikan dan juga dipastikan, “Jokowi 3 Periode” bisa dikatakan sulit untuk digolkan.
Alasan Jokowi tak Pilih “Jokowi 3 Periode”
Selain faktor pendirian masing-masing anggota MPR, ada sejumlah faktor lainnya yang harus diperhitungkan jika Jokowi ngotot inginkan perpanjangan masa jabatan presiden lewat amandemen Pasal 7 (1) UUD 1945.
Pertama, amandemen Pasal 7 UUD 1945 yang berorientasi pada kekuasaan pastinya berpotensi menimbulkan penolakan besar-besaran. Bahkan, sejumlah kelompok telah mengancam akan menurunkan massa dalam jumlah besar.
Aksi massa ini pastinya akan berlangsung sejak anggota MPR mengusulkan amandemen Pasal 7 (1) UUD 1045 sampai MPR bersidang untuk mengambil keputusan. Jika MPR memutuskan mengamandemennya, aksi-aksi unjuk rasa berpotensi semakin membesar. Dampaknya bisa lebih buruk dari aksi penolakan hasil Pilpres 2019, aksi penolakan Revisi UU KPK pada 2019, atau unjuk rasa menentang Omnibus Law pada 2020.
Ketiga, Jokowi harus kembali berkampanye yang pastinya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Artinya, kelompok yang berada di belakang Jokowi perlu kembali menanamkan “investasinya”.
Keempat, belum tentu Jokowi bisa menang dalam Pilpres 2024.
Kelima, Jokowi dan juga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan akan mendapat stempel negatif dalam catatan sejarah. Begitu juga dengan parpol-parpol koalisi pendukung amandemen lainnya. Lebih besar jumlah massa penolak amandemen. lebih buruk citra yang melekat pada parpol pendukung amandemen.
Karena faktor-faktor di atas, Jokowi tidak akan memperpanjang masa jabatannya dengan melalui amandemen Pasal 7 (1) UUD 1945. Dengan demikian, “Jokowi 3 Periode” bukan pilihan yang diambil Jokowi.
Info A1 Ujang Komaruddin Lemah
Dari analisis di atas, informasi yang diklaim A1 oleh Ujang Komaruddin jelas sulit diterima kebenarannya. Terlebih, Ujang tidak menyebut narasumber. Dan setiap orang, dengan berbagai alasan, bisa mengklaim memiliki atau mendapatkan informasi A1.
Jika Jokowi tidak mungkin mengagendakan “Jokowi 3 Periode” yang terlebih dulu harus melewati amandemen Pasal 7 (1) UUD 1945, maka jalan lain yang bisa ditempuh Jokowi adalah dengan cara menunda Pemilu 2024.
Penundaan Pemilu 2024 lebih mudah dilakukan karena Jokowi tidak perlu menggantungkan keinginannya pada pendirian anggota MPR. Sebab, penundaan Pemilu 2024, termasuk Pilpres 2024, hanya membutuhkan situasi tertentu yang dapat dijadikan alasan bagi Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Dan, situasi tertentu tersebut dapat ditimbulkan melalui rekayasa atau desain.
Seperti apa kira-kira situasi yang akan direkayasa atau didesain demi penundaan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi?
Maka, sekalipun Ujang Komarudin benar-benar menerima informasi seperti yang disampaikannya dan informasi tersebut juga benar-benar A1, namun dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, jelas skenario “Jokowi 3 Periode” lewat amandemen tidak akan dieksekusi.
Opsi Jokowi: Tunda Pemilu 2024
Penundaan pemilu tidak diatur dalam konstitusi. Meskipun demikian, opsi ini bisa diambil jika dan hanya jika negara dalam situasi yang sangat darurat.
Pandemi Covid-19 jelas tidak bisa dijadikan alasan penundaan Pemilu 2024. Pasalnya, pandemi yang mulai melanda Indonesia pada 2 Maret 2020 ini sudah bisa digeser menjadi endemi. Selain itu, pada saat virus corona tengah membadai pada 2020, pemerintah keukeuh menggelar Pilkada 2020.
Alasan kekurangan dana pun tidak bisa dipakai. Karena faktanya, Presiden Jokowi tetap ngotot memindahkan ibu kota negara meskipun harus menyediakan dana yang berlipat-lipat lebih besar dari dana pelaksanaan pemilu.
Karena bencana alam tidak bisa dijadikan sandaran, satu-satunya alasan kuat yang bisa dipakai untuk menunda Pemilu 2024 adalah jika terjadi kerusuhan yang meluas.
Untuk menimbulkan kerusuhan bukanlah pekerjaan yang sulit. Terlebih saat ini bangsa Indonesia tengah mengalami pembelahan berdasarkan suku dan agama.
Aksi-aksi penentangan terhadap pernyataan-pernyataan kontroversial Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang semakin menguatkan pembelahan dapat dimanfaatkan untuk meletuskan kerusuhan berskala besar.
Ditambah lagi dengan isu Jawa sentris yang semakin santer pasca terbitnya logo “Halal” berbentuk gunungan wayang dan ritual tanah-air yang dilakukan Jokowi saat berkemah di titik Nol calon ibu kota baru. Isu ini mau tidak mau telah menimbulkan ketidaksukaan, bahkan sikap anti, terhadap suku Jawa.
Dengan berlangsungnya situasi pembelahan ini, maka hanya dengan “percikan bensin, bara berubah menjadi kobaran api”.
Bercermin pada dilibatkannya kelompok-kelompok “Anarko” yang berhasil memprovokasi kerusuhan saat aksi penolakan Omnibus Law pada Oktober 2020, modus serupa pun dapat “di-copy paste-kan” untuk memancing kerusuhan massal guna menunda Pemilu 2024.
Karena terjadi by design, kerusuhan dapat lebih mudah dikendalikan. Ini berbeda jika kerusuhan timbul dari aksi penolakan terhadap amandemen Pasal 7 UUD 1945.
Jika kerusuhan yang diciptakan tersebut benar-benar masif dan meluas seperti yang diskenariokan, Presiden Jokowi tinggal menetapkan negara dalam keadaan bahaya. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU Nomor 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya dapat dijadikan payung hukumnya.
Selanjutnya, dengan ditetapkannya negara dalam keadaan bahaya, Presiden Jokowi dapat mengambil keputusan untuk menunda Pemilu 2024 sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Artinya, Jokowi bisa berkuasa seumur hidupnya atau sesuai keinginannya.
Karena penundaan pemilu beralasakan kondisi negara yang darurat akibat meletusnya kerusuhan, maka tidak ada lagi alasan kuat bagi kelompok-kelompok seperti yang dipelopori Rocky Gerung untuk menolak penundaan Pemilu 2024.
Selain itu, opsi penundaan pemilu kemungkinan besar akan disambut lapang dada oleh anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten, juga anggota DPD RI. Pasalnya, secara otomatis masa jabatan mereka pun diperpanjang.
Berubah Sikap, Jokowi Mainkan Skenario “Jokowi 3 Periode”?
Skenario perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi sebenarnya sudah dimainkan setidaknya sejak akhir November 2019, atau hanya satu bulan setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden RI untuk periode keduanya.
Namun, ketika itu, Jokowi dengan tegas menampiknya. Tidak hanya itu, Jokowi bahkan menuding pengusulnya tengah mencari muka, menampar mukanya, dan menjerumuskannya.
“Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” tegas Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta pada 2 Desember 2019.
Tetapi, belakangan, Jokowi malah dengan terang benderang menunjukkan perubahan sikapnya. Jokowi seolah menjadi lembek terhadap gagasan “Jokowi 3 Periode”. Bahkan, terkesan mendukungnya.
Sembari mengingatkan dirinya adalah presiden yang dipilih melalui sistem demokrasi, Jokowi menegaskan bahwa dirinya akan taat kepada konstitusi.
“Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi,” kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 5 Maret 2022.
Jokowi benar. Sebagai warga negara, terlebih sebagai Presiden Republik Indonesia yang dipilih melalui sistem demokrasi sebagaimana yang diatur UUD 1945, Jokowi memang harus menaati konstitusi.
“Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” sambung Jokowi.
Ada yang menarik pada perubahan sikap Jokowi tersebut. Jika dicermati, Jokowi menunjukkan perubahan sikapnya setelah sejumlah kelompok pendukungnya menyuarakan dukungan kepada Jokowi untuk melanjutkan masa jabatan kepresidenannya.
Bahkan pada 21 Juni 2022 pendukung Jokowi di Nusa Tenggara Timur (NTT) secara terang-terangan mengusulkan diadakannya referendum terkait masa jabatan presiden dengan mengubah Pasal 7 UUD 1945.
Kemudian pada 6 Februari 2022 pendukung Jokowi di Cirebon, Jawa Barat, menyatakan kebulatan tekad “2024 Kami Ikut Pak Jokowi”. Selanjutnya, satu bulan berselang, dengan bahasa yang hampir serupa, pendukung Jokowi di Blora, Jawa Timur menyatakan “dherek (ikut) Pak Jokowi di 2024”.
Intinya, pendukung Jokowi di Cirebon dan Blora akan mengikuti segala keputusan Jokowi terkait masa jabatan Jokowi yang berakhir pada 20 Oktober 2024. Jokowi selesai atau lanjut, mereka akan ikut. Jokowi ingin perpanjang masa jabatannya lewat amandemen UUD 1945, mereka akan nderek. Jokowi pilih perpanjang masa jabatannya lewat penundaan pemilu, mereka akan mengangguk-angguk.
Karenanya tidak salah jika banyak yang menangkap pernyataan Jokowi tersebut sebagai sikap malu-malu Jokowi yang sebenarnya menginginkan perpanjangan masa jabatannya.
Ada dua opsi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi. Pertama, menunda Pemilu 2024. Kedua, dengan cara mengamandemen Pasal 7 UUD 1945. Dari keduanya, dengan sejumlah alasan yang masuk akal, opsi pertamalah yang kemungkinan besar dipilih Jokowi.
Di Atas Kertas, Amandemen Pasal 7 UUD 1945 seperti Balikkan Telapak Tangan
Sesuai konstitusi, Pasal 7 (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Namun, sesuai konstitusi pula masa jabatan presiden dapat diubah atau diamandemen. Dan, pasal hasil amandemen adalah konstitusi.
Artinya, bila frasa “sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” pada Pasal 7 UUD 1945 sudah diubah menjadi “sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk dua kali masa jabatan” atau “hanya dua kali masa jabatan” dihilangkan, maka sesuai konstitusi Jokowi dapat kembali nyapres pada Pilpres 2024.
Di atas kertas, mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 bukanlah pekerjaan yang berat bagi Jokowi. Karena berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, amandemen dapat diagendakan dalam sidang MPR jika diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggotanya.
Selanjutnya, untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, Sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota. Dari jumlah yang hadir tersebut, 50 persen ditambah satu anggota harus menyetujuinya.
Keanggotaan MPR terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Pada periode 2019-2024 ini, lebih dari 400 orang di antaranya berasal dari koalisi pendukung Jokowi yang artinya sudah lebih dari 50 persen plus satu.
Sekali lagi, di atas kertas, mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 untuk menggolkan “Jokowi 3 Periode” seperti tinggal membalikkan telapak tangan saja.
Meski Mudah, Amandemen Pasal 7 1945 Berresiko Besar
Masalahnya, meskipun di atas kertas mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 sangat mudah dilakukan bagi Jokowi, namun opsi ini bukan pilihan yang tepat.
Ada sejumlah alasan.
Pertama, skenario “Jokowi 3 Periode” yang harus diawali oleh amandemen Pasal 7 UUD 1945 memerlukan waktu yang tidak singkat.
Kedua, amandemen Pasal 7 UUD 1945 yang berorientasi pada kekuasaan pasti akan menimbulkan penolakan. Bahkan, sejumlah kelompok telah mengancam akan menurunkan massa dalam jumlah besar.
Aksi massa ini pastinya akan berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama dan tentu saja di berbagai daerah. Dampaknya bisa lebih buruk dari aksi penolakan hasil Pilpres 2019, aksi penolakan Revisi UU KPK pada 2019, atau unjuk rasa menentang Omnibus Law pada 2020.
Ketiga, Jokowi harus kembali berkampanye yang pastinya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Artinya, kelompok yang berada di belakang Jokowi perlu kembali menanamkan “investasinya”.
Keempat, belum tentu Jokowi bisa kembali menang seperti saat maju dalam Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Kelima, Jokowi dan juga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan akan mendapat stempel negatif dalam catatan sejarah. Begitu juga dengan parpol-parpol koalisi pendukung amandemen lainnya.
Maka, sekalipun Ujang Komarudin benar-benar menerima informasi seperti yang disampaikannya dan informasi tersebut juga benar-benar A1, namun dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, jelas skenario “Jokowi 3 Periode” lewat amandemen tidak akan dieksekusi.
Opsi Jokowi: Tunda Pemilu 2024
Penundaan pemilu tidak diatur dalam konstitusi. Meskipun demikian, opsi ini bisa diambil jika dan hanya jika negara dalam situasi yang sangat darurat.
Pandemi Covid-19 jelas tidak bisa dijadikan alasan penundaan Pemilu 2024. Pasalnya, pandemi yang mulai melanda Indonesia pada 2 Maret 2020 ini sudah bisa digeser menjadi endemi. Selain itu, pada saat virus corona tengah membadai pada 2020, pemerintah keukeuh menggelar Pilkada 2020.
Alasan kekurangan dana pun tidak bisa dipakai. Karena faktanya, Presiden Jokowi tetap ngotot memindahkan ibu kota negara meskipun harus menyediakan dana yang berlipat-lipat lebih besar dari dana pelaksanaan pemilu.
Karena bencana alam tidak bisa dijadikan sandaran, satu-satunya alasan kuat yang bisa dipakai untuk menunda Pemilu 2024 adalah jika terjadi kerusuhan yang meluas.
Untuk menimbulkan kerusuhan bukanlah pekerjaan yang sulit. Terlebih saat ini bangsa Indonesia tengah mengalami pembelahan berdasarkan suku dan agama.
Aksi-aksi penentangan terhadap pernyataan-pernyataan kontroversial Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang semakin menguatkan pembelahan dapat dimanfaatkan untuk meletuskan kerusuhan berskala besar.
Ditambah lagi dengan isu Jawa sentris yang semakin santer pasca terbitnya logo “Halal” berbentuk gunungan wayang dan ritual tanah-air yang dilakukan Jokowi saat berkemah di titik Nol calon ibu kota baru. Isu ini mau tidak mau telah menimbulkan ketidaksukaan, bahkan sikap anti, terhadap suku Jawa.
Dengan berlangsungnya situasi pembelahan ini, maka hanya dengan “percikan bensin, bara berubah menjadi kobaran api”.
Bercermin pada dilibatkannya kelompok-kelompok “Anarko” yang berhasil memprovokasi kerusuhan saat aksi penolakan Omnibus Law pada Oktober 2020, modus serupa pun dapat “di-copy paste-kan” untuk memancing kerusuhan massal guna menunda Pemilu 2024.
Karena terjadi by design, kerusuhan dapat lebih mudah dikendalikan. Ini berbeda jika kerusuhan timbul dari aksi penolakan terhadap amandemen Pasal 7 UUD 1945.
Jika kerusuhan yang diciptakan tersebut benar-benar masif dan meluas seperti yang diskenariokan, Presiden Jokowi tinggal menetapkan negara dalam keadaan bahaya. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU Nomor 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya dapat dijadikan payung hukumnya.
Selanjutnya, dengan ditetapkannya negara dalam keadaan bahaya, Presiden Jokowi dapat mengambil keputusan untuk menunda Pemilu 2024 sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Artinya, Jokowi bisa berkuasa seumur hidupnya atau sesuai keinginannya.
Karena penundaan pemilu beralasakan kondisi negara yang darurat akibat meletusnya kerusuhan, maka tidak ada lagi alasan kuat bagi kelompok-kelompok seperti yang dipelopori Rocky Gerung untuk menolak penundaan Pemilu 2024.
Selain itu, opsi penundaan pemilu kemungkinan besar akan disambut lapang dada oleh anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten, juga anggota DPD RI. Pasalnya, secara otomatis masa jabatan mereka pun diperpanjang.