
Bagaimana Artikel Opini Pengaruhi Pembacanya?
Penulis freelance, sebut saja demikian, sebenarnya sudah lama dimanfaatkan dalam berbagai “perang” opini, khususnya dalam kontestasi pemilu.
Biasanya penulis freelance atau penulis lepas masuk dalam tim media yang menjadi bagian dari tim sukses peserta pemilu.
Prabowo yang Dikeroyok Media
“Endorsing Jokowi” tulis harian The Jakarta Post sebagai judul editorialnya pada 4 Juli 2014 atau 5 hari jelang Pilpres 2014.
“Kami tak diam saat reformasi. Begitu pun kami tak pernah segan ketika ada penyalahgunaan kekuatan atau hak asasi yang dilanggar.”
Itulah kalimat pada paragraf kedua yang ditulis media berbahasa Inggris itu.
Kala itu, The Jakarta Post menjadi satu-satunya media yang secara blak-blakan menegaskan sikap politiknya. Sementara, meski tak diungkapkan, media-media lainnya pun mengemas dukungannya kepada Jokowi lewat framing-framing pemberitaannya.

Selain media arus utama, Prabowo juga mendapat gempuran dari artikel-artikel opini yang diunggah oleh penulis freelance pada berbagai website dan blog.
Belum lagi buzzer-buzzer yang diorkestrasi untuk menyemburkan berita-berita dan opini-opini negatif tentang Prabowo dan pasangannya.
Akhirnya, Prabowo yang sebelumnya memiliki tingkat elektabilitas lebih tinggi dari Jokowi dapat dikalahkan dalam Pilpres 2014.
Situasi yang dialami Prabowo juga dialami oleh banyak pasangan peserta pemilu daerah. Pasangan-pasangan ini pada umumnya pusing tujuh keliling lantaran merasa tidak mendapat dukungan media mainstream. Bahkan, tidak sedikit yang merasa dikeroyok media arus utama.
Strategi Trump Hadapi Keroyokan Media
Seperti Prabowo, Donald Trump juga dikeroyok media mainstream. Tapi, Trump tidak memusingkannya.
Untuk menghadapinya, Trump memanfaatkan jejaring media sosial dan website-website yang dikelola oleh pendukungnya.
Strategi tersebut Trump terbilang sederhana.
Penulis freelance yang direkrut tim kampanye Trump menuliskan dan mengunggah konten berita dan opini pada website yang dikelolanya.
Konten-konten itu kemudian diviralkan melalui jejaring media sosial.
Hasilnya, sejumlah website seperti USASupreme.com dan 70News.wordpress.com yang dikelola penulis freelance pendukung Trump menjadi sumber informasi para pemilih.
Dan,,dalam Pilpres AS 2016 itu, Trump yang dikeroyok ratusan media mainstream pada akhirnya berhasil mengalahkan lawannya, Hillary Clinton.
Media Mainstream Bukan Lagi Sumber Berita
Ada satu hasil survei yang bisa menjelaskan strategi kemenangan Trump. Menurut survei “Status Literasi Digital di Indonesia 2021” yang dirilis pada 29 Juli 2022, dari 10 ribu responden, 73 persen mengaku mendapatkan informasi dari media sosial.

Sementara, masih menurut survei yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo, hanya 26.7 persen responden yang mengaku mendapatkan informasi dari media berita online.
Dari hasil survei tersebut dan juga kemenangan Trump dalam Pilpres AS 2016 dapat disimpulkan bahwa media sosial dan penulis freelance memiliki peran penting dalam kampanye pemilu.
Bagaimana Penulis freelance Pengaruhi Pemilih?
Dalam kontestasi pemilu, popularitas saja tidak cukup. Sebab, popularitas yang tinggi bisa saja disebabkan oleh tingginya sentimen negatif.
Jika tingkat popularitas seorang kandidat lebih banyak disuplai oleh sentimen negatif ketimbang sentimen positif, maka tingkat elektabilitasnya pun menjadi rendah. Begitu juga sebaliknya.
Sentimen negatif berasal dari framing-framing negatif pemberitaan media atau opini-opini buruk yang dituliskan oleh penulis freelance.
Sebaliknya, sentimen positif bersumber dari framing-framing positif yang diberitakan oleh media mainstream atau opini-opini positif yang dituliskan oleh penulis freelance.
Manfaatkan Artikel Opini untuk
✓
Kampanye Positif
✓
Kampanye Negatif terhadap Lawan
✓
Counter Kampanye Negatif/Hitam
✓
Framing Positif
✓